Kisah penyuluhan pegawai pajak Ranai, membelah bukit arungi laut
Membelah bukit dan mengarungi lautan adalah hal yang biasa dilakoni para
pegawai pajak yang bertugas di pulau-pulau terpencil di Nusantara.
Salah satunya di kota Ranai, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau.
Demi
menjalankan tugas penyuluhan kepada para wajib pajak, mau tak mau para
pegawai pajak di Kantor Penyuluhan Pelayanan dan Konsultasi Perpajakan
(KP2KP), Ranai ini memang harus melewati perjalanan panjang.
Budi
Utomo, salah satu petugas pajak yang bertugas di Ranai, mengaku sudah
dua tahun bertugas di wilayah ini. Budi merupakan Kepala Kantor
Penyuluhan Pelayanan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP). KP2KP sendiri
adalah kepanjangan tangan dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Tanjung
Pinang di tingkat provinsi.
Pada Selasa (21/5), dia bersama dua
stafnya, yakni Slamet Pasaribu dan Grace Ginting mendapatkan tugas untuk
melakukan sosialisasi kepada seluruh perangkat daerah di Kecamatan
Pulau Tiga.
Bukan hal yang mudah untuk bisa sampai ke tempat yang
dituju. Selain perjalanan jauh, mereka juga harus melewati perbukitan
terjal yang bersinggungan langsung dengan jurang yang curam.
Perjalanan
dari kantor KP2KP yang terletak di Jalan Ahmad Yani nomor 5 itu ke
Pulau Tiga dibutuhkan waktu sedikitnya 2 jam dengan jalur darat dan 1
jam jalur laut.
Tepat Pukul 07.00 WIB, mereka berkemas dan
membawa seluruh perlengkapan penyuluhan. Sedikitnya ada tiga kardus
besar berisi dokumen perpajakan warga, NPWP, pamflet, spanduk, banner
yang dibawa agar acara sosialisasi terlihat lebih meriah.
Barang-barang
itu pun harus mereka bawa sendiri tanpa dibantu petugas lain. Karena
memang, hanya mereka bertiga yang tugas di KP2KP Ranai.
Kendaraan
pun mulai melaju dari kantor yang sekaligus rumah tempat mereka melepas
lelah setiap hari dan berangkat menuju lokasi penyuluhan di Pulau Tiga.
Pria
asal Yogyakarta ini memang bukan yang pertama menjalani aktivitas
semacam ini. Perjalanan melawati jalan berlubang, berkelok dan membelah
bukit harus ditempuh Budi Utomo dan stafnya untuk bisa sampai ke tempat
sosialisasi.
Butuh tenaga ekstra untuk berkendara di medan
perjalanan semacam itu. Belum lagi mobil harus melaju melewati
pegunungan yang menanjak hingga 80 derajat dan berbatasan langsung
dengan jurang yang terjal. Sedikit saja roda mobil tergelincir, hati
mulai deg-degan. Sungguh nyawa taruhannya untuk bisa melewati jalan
semacam itu.
Setelah sampai di pelabuhan Selat Lampa, sebagian
tenaga dan pikiran sudah habis terkuras di dalam perjalanan darat. Budi
juga harus menaiki speedboat, atau penduduk Ranai biasa menyebutnya
kapal pompong.
Budi dan kawan-kawan juga harus melalui jalur perairan Natuna yang berbatasan langsung dengan Laut China Selatan.
Beruntung,
cuaca di lokasi sedang bersahabat. Namun sebenarnya tidak jarang badai
menerjang di kawasan ini saat hujan tiba. Cerita Budi, pernah suatu kali
speedboat yang biasa ditumpangi terombang-ambing oleh ombak. Parahnya,
air hujan menggenangi speedboat.
Belum lagi, jika mesin speedboat
bermasalah di tengah laut. Budi pun harus menunggu sampai ada kapal
bantuan yang lewat untuk menumpang sampai ke lokasi tujuan. Jika tidak,
dengan terpaksa mereka harus bermalam di tengah laut yang dingin dan
sepi itu.
Setelah berhasil melewati perairan, dengan menghela
napas panjang, Budi dan kawan-kawan pun bergegas membawa perlengkapan
penyuluhan ke sebuah balai pertemuan tempat di mana sosialisasi dan
penyuluhan perpajakan itu berlangsung.
Akhirnya, setelah menempuh
perjalanan jauh, terjal dan berliku, Budi dan pegawai pajak lainnya pun
bertemu dengan para pejabat, bendahara dan PNS yang ada di Pulau Tiga.
Budi
menjelaskan kepada puluhan warga yang hadir di acara tersebut tentang
pentingnya membayar pajak. Selain itu, dia juga menjelaskan tentang
proses penggunaan pajak masyarakat yang akhirnya kembali ke masyarakat.
"Pajak
adalah tulang punggung pembangunan, kita semua ini perlu dipahami bahwa
APBD Natuna, tahun lalu Rp 1,5 triliun. Itu sumbernya dari APBN, pajak
apapun, pada akhirnya kembali ke APBD Natuna. Melalui dana perimbangan,
begitu masuk ke APBN
Natuna, sepenuhnya jadi tangung jawab
Pengguna Anggaran, yaitu bapak Bupati. Dalam membelanjakan sesuai dengan
persetujuan dewan, larinya juga ke bapak ibu," terang Budi dengan penuh
pengertian kepada masyarakat.
Dia juga menjelaskan, bahwa pajak
diperuntukkan bagi masyarakat yang notabene sudah masuk dalam kategori
mampu untuk dikenakan membayar pajak atau Wajib Pajak (WP). Di dalam
pemungutan pajak, lanjut dia, juga berlaku asas keadilan.
"Asas
pajak salah satunya asas keadilan, pajak dipungut berdasarkan kemampuan
wajib pajak, bahasa gampangnya semakin kaya dikenakan pajak semakin
besar, kalau di bawah dari ketentuan tidak perlu bayar pajak," imbuhnya.
Penyuluhan
ini pun disambut antusias oleh warga setempat. Secara bergiliran para
warga bertanya kepada Budi seputar perpajakan. Ada yang sekadar
bertanya, ada juga yang melaporkan berbagai sistem pemungutan pajak di
sekitar mereka.
Dua jam lebih acara penyuluhan ini berlangsung
hangat, Budi pun meminta agar para warga mencatat nomor ponselnya.
Dengan tujuan, jika masih ada yang kurang paham tentang pajak, warga
diperkenankan bertanya melalui sambungan telepon.
Tidak hanya
medan yang berat, yang menjadi kendala pegawai pajak melakukan
sosialisasi perpajakan. Perbedaan bahasa pun sering kali membuat pegawai
KP2KP kesulitan memberikan pemahaman kepada warga akan pentingnya
membayar pajak.
"Di sini yang sulit, mereka pakai bahasa melayu
Natuna, agak sulit mencerna bahasa mereka," sambung Slamet di sela-sela
acara penyuluhan berlangsung.
Di pengujung acara, Budi membagikan
kartu NPWP bagi para warga yang memang belum sempat mengambil di kantor
KP2KP Ranai yang memang letaknya cukup jauh dari Pulau Tiga.
"Jadi Bapak, Ibu tidak perlu lagi jauh-jauh datang ke kantor. Langsung saja saya bagikan di sini," tutur dia.
Pertemuan hari itu berakhir. Warga terlihat senang karena mendapat pengetahuan dan pemahaman lebih tentang perpajakan.
Sementara
bagi pegawai pajak, tugas hari itu belumlah usai. Mereka masih memiliki
tanggung jawab untuk terus melakukan sosialisasi kepada wajib pajak di
daerah terpencil lainnya.
Senyum semangat pun terpancar dari
wajah para pegawai pajak yang melihat seluruh warga antusias dan senang
usai menghadiri acara penyuluhan dan konsultasi perpajakan yang digelar
KP2KP Ranai. Akhirnya betapa sulitnya perjalanan panjang ini dilalui,
kepuasan dalam melayani masyarakat bisa dirasakan, karena sosialisasi
bisa diterima masyarakat dengan antusias.
Ruko Itu apartemenku, cerita tempat tinggal 20 pegawai pajak
Udara panas bercampur semrawutnya ruangan lantai dua yang digunakan sebagai tempat penyimpanan berkas Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Batulicin sudah menjadi pemandangan yang lumrah.
Baju, bungkusan plastik, dan kasur terlihat berantakan di dalam ruangan berukuran 6x5 meter yang disekat dengan selembar papan berwarna putih berbalut balok sebagai tulangnya.
Tiga buah ruangan di lantai 2 itu merupakan gudang yang diisi oleh sekitar 20 pegawai KPP Pratama Batu Licin, di Jalan Raya Batulicin, Kecamatan Simpang Empat, Kota Batulicin, Kalimantan Selatan yang digunakan saban hari untuk tidur. Mereka terpaksa menyekat gudang dengan selembar papan yang diberi daun pintu untuk beristirahat.
Mahalnya biaya hidup dan sewa kamar kos di daerah Batulicin menjadi salah satu alasan para pegawai pajak akhirnya memilih untuk tinggal di ruko penyimpanan dokumen sekaligus juga kantor fungsional yang terletak dua ruko berjejer dengan KPP Pratama Batulicin.
Salah satu pegawai pajak, Ilham mengaku sudah tinggal di ruko yang dijadikan sebagai gudang KPP Pratama Batulicin itu sekitar dua tahun. Awalnya, pria berambut sedikit ikal dan berkulit hitam itu datang dari Semarang, Jawa Tengah untuk menjalani tugas sebagai pegawai Pajak tahun 2009. Ilham merupakan lulusan Sekolah Tinggi Akuntansi Negara Jakarta yang menjabat Account Representatif (AR) KPP Pratama Batulicin.
Untuk meminimalisir pengeluaran, awalnya Ilham patungan dengan rekan satu kantornya untuk menyewa rumah kontrakan di wilayah Kecamatan Simpang Empat, tidak jauh dari kantornya. Namun pengeluaran di Batulicin, tidak sebanding dengan pendapatannya sebagai pegawai pajak. Untuk makan setidaknya, Ilham harus merogoh kocek dalam-dalam sekitar Rp 100 ribu per hari.
Dengan pertimbangan itu, Ilham akhirnya memutuskan untuk tidur di gudang berkas yang disewa oleh KPP Pratama Batulicin, tepat dua toko di sebelah kantornya bersama dengan enam orang lainnya yang juga ikut tidur di ruko berlantai empat tersebut.
"Disini biaya hidup empat kali lipat dari Jakarta, kalau nggak irit, nggak bisa pulang," Kata Ilham beberapa pekan lalu. Tidak berbeda dengan Ilham, Febri Angga Mison, atau akrab disapa Mison juga harus tinggal di kantor lantaran beratnya biaya hidup di Kota Batulicin.
Rasa kangen terhadap keluarga menjadi alasan bagi Mison untuk mengirit pengeluarannya agar bisa bertemu dengan anak serta istrinya di Banyuwangi, Jawa Timur. Paling tidak, setiap bulan, Mison harus terbang ke Surabaya menemui anak serta istrinya selama dua hari. Hal yang paling berat dan harus ia jalani adalah melepas kerinduan dengan buah hati yang kini berusia 2 tahun. "Biayanya kalau untuk pulang pergi Rp 1,5 juta," kata Mison.
Hampir sama dengan anak buahnya, Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi I (Waskon), Dikun berbinar-binar matanya saat hendak menceritakan suka duka hidup jauh dari keluarganya di Pekalongan, Jawa Tengah. Bapak berusia 50 tahun senantiasa memikirkan bagaimana anak dan istrinya hidup di luar pulau dengannya.
Dikun harus pulang pergi sebulan sekali untuk melihat anak dan istrinya hanya untuk sekadar melepas kangen. "Yang paling berat jauh dari keluarga, apalagi saya punya anak," ujar Dikun.
Pernah, waktu Dikun pertama kali tugas di Batulicin, anak serta istrinya diboyong tinggal di sana. Namun, belum satu bulan tinggal di Batulicin, anak serta istrinya tidak kerasan lantaran fasilitas penunjang jauh seperti di Pekalongan.
Untuk pendidikan, di Batulicin boleh dibilang jauh dari memadai, begitu juga dengan fasilitas kesehatan. Apalagi untuk hiburan, tempat wisata di Batu Licin nyaris tidak ada sama sekali kecuali hanya pantai tanpa pengunjung yang terletak di daerah Pagetan. "Baru tinggal di sini 1 bulan tapi nggak kerasan dan sekarang balik lagi ke Pekalongan karena sering mati lampu," kata Dikun.
Kebanyakan, para pegawai pajak yang tinggal di dalam ruko, hidup secara kekeluargaan karena merasa senasib sepenanggungan yang jauh dari rumah dan keluarga. Lingkungan yang dibangun memang berbeda dengan perkantoran pada umumnya.
Di antara atasan maupun bawahan tidak begitu terlihat kastanya dalam lingkup kerja di KPP Pratama Batulicin. Misal, Achmad Noor Wakhid, Kepala Kantor KPP Pratama Batulicin, juga tinggal di lantai 2 kantor pajak. Wakhid, seminggu sekali pulang ke Jakarta untuk menemui keluarganya dan melepas rindu berkumpul bersama anaknya.
"Cuma saya yang bisa pulang seminggu sekali, karena gaji saya mencukupi," kata Wakhid.
Pria mantan Kepala Seksi Pengawasan dan Konsultasi di KPP Madya Jakarta Pusat ini menuturkan, suasana yang dibangun di lingkungan kantor KPP Pratama Batulicin memang dilandasi rasa kekeluargaan. Setiap Senin dan Kamis, mayoritas pegawai yang beragama Islam, melakukan puasa bersama.
Selain memperkuat iman, faktor mahalnya biaya hidup juga menjadi alasan untuk melakukan puasa setiap minggu. Menu buka puasa juga tidak ada yang istimewa, mie, gorengan dan sop merupakan menu favorit berbuka puasa. Kadang kalau ada uang lebih atau ada pegawai yang dengan sukarela mendonasikan uangnya, sate ayam merupakan menu istimewa yang mendampingi para karyawan berbuka puasa. "Di sini semua urunan (patungan), termasuk buka puasa juga kita patungan," kata Wakhid.
Prinsipnya, tutur Wakhid, suasana yang dibangun di lingkungan kerja KPP Pratama Batulicin memang demikian. Pendidikan secara rohani, ditanam jauh-jauh untuk membentuk karakter pegawai pajak yang bersih.
Dia berani untuk diperiksa, jika menerima uang suap dari wajib pajak, dia bersedia digantung di Monas. "Silakan cek, kalau ada secuil saya terima, saya bersedia digantung di Monas, emang Anas aja," tuturnya.
Mengejar pajak di tengah Pulau Emas Hitam
'Uang pajak tidak begitu saja turun dari langit'. Mungkin ungkapan itu pantas disandang para pegawai Kantor Pajak Pratama Batu Licin di Jalan Raya Batulicin, Kecamatan Simpang Empat, Kota Batulicin, Kalimantan Selatan, terutama saat melihat bagaimana mereka bekerja.
Betapa tidak, para pegawai di bawah Kementerian Keuangan itu harus menempuh jarak berkilo-kilo meter untuk memberikan penyuluhan kepada para Wajib Pajak.
Selasa (21/5) pagi, beberapa pekan lalu, cuaca kota yang terkenal dengan sebutan Batulicin Bersujud itu, lumayan cerah. Rela Renata Tri Santoso dan teman satu timnya, Cepi Wahyudi bergegas berangkat dari kantornya menuju Pelabuhan Speed Batulicin dengan jarak sekitar 1 kilometer. Mereka hendak menyambangi Wajib Pajak di Desa Sekapung, Kecamatan Pulau Sebuku, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Wajib pajak ini adalah sebuah perusahaan tambang Batubara yang merupakan pemasok pajak terbesar di pulau ini.
Rela dan Cepi sapaan akrab mereka, merupakan Account Representative dari KPP Batulicin. Keduanya berkewajiban memberi penyuluhan kepada Wajib Pajak di dua kabupaten, yaitu Kabupaten Tanah Bumbu dan Kabupaten Kotabaru. Selain itu, Rela dan Cepi juga harus bertanggung jawab memantau kegiatan usaha pertambangan Wajib Pajak di kedua kabupaten tersebut.
Semilir hembusan angin di Pelabuhan Speed, Desa Sejahtera, Kota Batulicin lumayan sejuk. Matahari menyeruak di balik bukit menyambut aktivitas warga yang hendak menuju ke pasar di sepanjang jalan menuju pelabuhan.
Kota Batulicin baru berumur 15 tahun dan hanya berjarak sekitar 6 kilometer. Rela dan Cepi memulai perjalanannya dengan menumpangi speedboat dengan ongkos per orangnya Rp 50 ribu selama satu jam. Satu speedboat, hanya bisa ditumpangi maksimal 6 penumpang.
Ombak pagi itu tidak begitu kencang. Perjalanan menaiki speedboat dirasa aman untuk menuju Pelabuhan Speed Kotabaru. Setelah dari Pelabuhan Speed Kotabaru, keduanya melanjutkan perjalanan melalui jalur darat selama sejam menuju Pelabuhan Speed Teluk Gosong.
Rela dan Cepi kembali menumpangi speedboat kembali dan melanjutkan perjalanan ke Pulau Sebuku selama 1,5 jam. "Naik speedboat dan singgah di Pelabuhan Kotabaru untuk jalan darat sekitar 1 jam menuju pelabuhan berikutnya," Kata Cepi.
Total lama perjalanan menuju wilayah Wajib Pajak di Pulau Sebuku memakan waktu selama 3,5 jam. Sampai di Pelabuhan Sekapung, perjalanan masih begitu panjang. Untuk masuk ke area tambang, keduanya harus meminta bantuan Wajib Pajak tersebut untuk menjemput mereka di pelabuhan. Kalau tidak, perjalanan jauh Rela dan Cepi akan sia-sia. Mereka tidak akan bisa bertemu dengan Wajib Pajak dan harus bermalam di tengah hutan.
Dua pegawai tambang batubara ternyata sudah menunggu Rela dan Cepi. Kedatangan Rela dan Cepi sudah diketahui Wajib Pajak perusahaan tambang tersebut. Keduanya pun dijemput dengan menggunakan minibus yang setiap hari digunakan untuk antar jemput pegawai di lokasi tambang.
Untuk sampai di perusahaan tambang tersebut, minibus ini harus melewati bukit terjal tanpa aspal dan membelah hutan. Jaraknya sekitar 3 kilometer dari bibir pelabuhan Desa Sekapung. Menyambangi Wajib Pajak pertambangan Batubara memang rutin dilakukan pegawai pajak, mengingat Wajib Pajak di daerah tersebut sulit untuk datang ke kantor KPP Batulicin lantaran akses dan waktu perjalanan memakan waktu 7 jam dengan menggunakan speedboat. Kebanyakan kantor Wajib Pajak berada di tengah hutan dan diawasi dengan penjagaan yang ketat.
"Kalau tidak dijemput, kita nggak tahu di mana kantornya dan juga nggak bisa masuk," ujarnya.
Bukanlah hal yang mudah menjalani pekerjaan seperti Rela dan Cepi. 4 Tahun sudah Rela menjalani pekerjaan ini. Ada suka, ada juga duka yang dia dapat selama 4 tahun bekerja sebagai Account Representatif Pajak di Batulicin.
Tugas yang tersulit adalah menyadarkan Wajib Pajak di kota tersebut. Kebanyakan penduduk pribumi yang ada di sana tidak peduli dengan pajak. Belum lagi kendala cuaca menuju pulau tersebut juga menjadi pertimbangan Rela untuk melakukan penyuluhan. Bayangkan, jika air laut sedang pasang, mau tidak mau keduanya harus menginap di mess karyawan Wajib Pajak.
Karena jika nekat untuk pulang, nyawa mereka menjadi taruhan ditelan kencangnya ombak laut Selat Makassar. "Ya kalau cuaca nggak bagus, terpaksa kita nginap," ujar Rela.
Pendekatan yang dilakukan para pegawai pajak di Kota Batulicin tidak semudah membalik telapak tangan. Salah memberi penyuluhan, nyawa menjadi taruhan.
Rela menceritakan tentang temannya yang juga sesama Account Representatif diancam dibunuh saat memberi penyuluhan ke salah satu Wajib Pajak di kota Batulicin. Tidak hanya diancam akan dibunuh, salah satu Wajib Pajak di Kota Batulicin juga pernah mengancam akan membakar kantor KPP Batu Licin.
"Mungkin yang paling berat adalah memberikan penyadaran kepada Wajib Pajak. Menumbuhkan kesadaran kepada Wajib Pajak di sini harus ekstra," tuturnya.
Meski beratnya medan yang harus ditempuh dengan jarak beratus-ratus kilometer dan kondisi budaya penduduk yang berbeda, tidak mematahkan semangat Rela dan rekan-rekannya untuk bekerja menagih dan memberikan penyuluhan pajak di Batulicin.
Kebersamaan dan kekeluargaan, yang dibangun di kantornya membuat dia tetap bersemangat dan terus berjuang agar pendapatan pajak yang masuk ke kas negara itu dapat tertagih.
"Kita harus kasih penjelasan, kalau uang pajak yang mereka bayarkan akan juga masuk untuk pembangunan daerah mereka," ujarnya.
Hampir sama dengan pengalaman Rela dan Cepi, petugas pajak lainnya, Mison membenarkan betapa sulitnya untuk masuk ke area pertambangan di lokasi tersebut. Mison menceritakan bagaimana ia harus berhadapan dengan keamanan yang berlapis-lapis agar bisa menemui Wajib Pajak.
Lelaki berusia 28 tahun, kelahiran Jawa Timur itu mempunyai Wajib Pajak di area pertambangan batu bara maupun perkebunan kelapa sawit di daerah Sungai Danau, Satui, Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan.
Rabu (22/5), Mison berangkat dengan menggunakan mobil Isuzu Panther warna biru tua bersama rekan kerjanya, Ilham untuk melakukan kunjungan ke area tambang batu bara dan perkebunanan kelapa sawit tersebut. Waktu perjalanan menuju daerah yang hendak didatangi berjarak 130 kilometer dengan lama perjalanan kurang lebih 2 jam.
Panas yang menyengat dengan kondisi jalan yang berdebu harus dilewati keduanya. Namun apalah daya, saat hendak masuk ke dalam area tambang, tempat pelabuhan batu bara, keduanya tertahan di pos keamanan.
Pria berbadan tegap dan berkulit hitam dengan mengenakan kaos Brigadir Mobil, menahan Mison dan Ilham untuk masuk ke area tambang. Alasannya, karena tidak ada perintah dari kantor wajib terkait kunjungan pegawai pajak tersebut.
Akhirnya, Mison dan rekannya mendatangi pos satpam lainnya. Hingga 3 pos satpam yang disambangi, hasilnya masih belum bisa masuk ke area tambang Wajib Pajak. Tiba-tiba salah seorang keamanan datang dan mau menemani Mison dan Ilham untuk mengunjungi area perkebunan kelapa sawit. Tujuan kunjungan itu umumnya dilakukan untuk mengetahui jumlah aset perusahaan yang dimiliki Wajib Pajak. "Masuk ke area sini tidak mudah, kadang dijaga aparat," kata Mison.
Saat masuk ke dalam area perkebunan sawit, jalan yang dilewati nyaris sama tanpa tanda maupun nama jalan. Jika tidak diantar keamanan perkebunan, Mison dan Ilham bisa saja salah jalan dan tidak bisa keluar lagi dari area perkebunan.
Jalan menuju area perkebunan kelapa sawit itu memang bercabang. Tepat di pinggirnya terdapat sungai kecil yang terisi air rawa-rawa di sekitarnya. Tidak jarang buaya dan ular ditemui di perkebunan ini. Jika salah jalan, paling tidak 2 jam dihabiskan mencari jalan keluar hingga menemui jalan utama menuju kantor perkebunan kelapa sawit.
Tak sesosok manusia pun terlihat di perkebunan kelapa sawit itu. Hanya sesekali terlihat warga yang mengendarai sepeda motor dan tidak diketahui dari mana datangnya. Seorang pekerja dengan menggunakan bulldozer terlihat merapikan jalan.
"Pernah berputar mencari jalan keluar hingga 1 jam lebih, salah jalan kita bisa diikuti dan ditegur mau ke mana," ujarnya.
0 comment:
Post a Comment