Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama ( Ahok ) kemarin tiba-tiba berkomentar soal ibu tiri dan ibukota. Ahok berujar, istilah ibukota lebih kejam daripada ibu tiri adalah salah besar.
"Prinsipnya itu jangan mengatakan 'Ibukota lebih kejam daripada ibu tiri' kan dulu. Itu kalimat yang salah, tahu enggak. Kalimat yang benar itu 'Ibu kota itu lebih baik daripada ibu kandung yang miskin'. Kenapa? Artinya Ibu kota itu harus jadi tempat orang berpeluang jadi kaya dan berhasil gitu loh," ujarnya sembari tertawa di Balai Kota Jakarta, Kamis (13/6).
Bicara soal ibukota dan ibu tiri, 30-an tahun lalu, tepatnya tahun 1981 istilah ibukota dan ibu tiri sudah mulai diperbincangkan. Berawal dari film nasional yang dibintangi oleh dua pelawak senior yang kini sudah almarhum, Ateng dan Iskak, istilah ibu tiri dan ibukota mulai familiar.
Film yang berjudul 'Kejamnya ibu tiri tak sekejam ibukota' tersebut mengisahkan Ateng yang memiliki ibu tiri yang jahat. Dikisahkan, ibu tiri Ateng yang diperankan oleh Doris Celleboute itu kerap menyuruh ateng untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Mulai dari menimba air, memberi makan sapi, mencuci piring, bahkan sampai belanja di pasar. Sementara si ibu tiri malah enak-enakan tiduran di kamar. Bangun tidur pun Ateng harus selalu menyediakan kopi untuk sang ibu tiri ini.
Bahkan, di depan sang ayah, si ibu tiri kerap menjelek-jelekkan Ateng. Ateng dianggap pemalas lah, tidak nurut perintah ibu tiri lah. Bahkan pekerjaan yang sebenarnya dilakukan oleh Ateng, di hadapan sang ayah, si ibu tiri ngaku-ngaku bahwa semuanya dia yang melakukan.
"Lihat nih yah, tangan saya sampai kasar," kata si ibu tiri bersandiwara di hadapan suaminya. Sang ayah pun akhirnya memarahi Ateng sejadi-jadinya.
Merasa disia-siakan ibu tiri, dan tidak dibela oleh ayah sendiri, akhirnya menjadikan Ateng yang tinggal di kampung tidak betah di rumah. Hingga suatu hari, saat belanja di pasar, Ateng bertemu dengan Iskak, teman lamanya di kampung yang belum lama pindah ke kota dan sudah sukses. Iskak yang kemana-mana pakai headset, bahkan saat naik andong pun, mengajak Ateng ke kota.
Iskak bercerita, di kota dia bertemu dengan orang orang yang top. Mulai dari pejabat, artis terkenal, hingga penyanyi dangdut. Tanpa berpikir panjang Ateng akhirnya tergiur dengan omongan Iskak dan ikut ke Jakarta..
Tapi apa yang terjadi setelah di ibu kota? Ternyata Jakarta tak semanis yang Ateng bayangkan. Baru sampai ibu kota saja, tas Ateng sudah digondol maling. Begitulah seterusnya, keapesan-demi keapesan menimpa Ateng, bahkan sampai kelaparan lantaran tak punya uang untuk beli makan.
Kondisi diperparah dengan kenyataan bahwa Iskak yang membawa Ateng ke Jakarta ternyata cuma omdo alias omong doang. Di Jakarta, Iskak ternyata juga kere, yang tak punya pekerjaan yang jelas.
Namun dengan kegigihan dan ketekunan, akhirnya kondisi berbalik. Sedikit demi sedikit Ateng mulai merasakan enaknya tinggal di Jakarta, meski tak semuanya manis. Di akhir cerita, Ateng berujar "Kejamnya ibu tiri, tak sekejam ibu kota," ucap Ateng seraya tersenyum.
"Prinsipnya itu jangan mengatakan 'Ibukota lebih kejam daripada ibu tiri' kan dulu. Itu kalimat yang salah, tahu enggak. Kalimat yang benar itu 'Ibu kota itu lebih baik daripada ibu kandung yang miskin'. Kenapa? Artinya Ibu kota itu harus jadi tempat orang berpeluang jadi kaya dan berhasil gitu loh," ujarnya sembari tertawa di Balai Kota Jakarta, Kamis (13/6).
Bicara soal ibukota dan ibu tiri, 30-an tahun lalu, tepatnya tahun 1981 istilah ibukota dan ibu tiri sudah mulai diperbincangkan. Berawal dari film nasional yang dibintangi oleh dua pelawak senior yang kini sudah almarhum, Ateng dan Iskak, istilah ibu tiri dan ibukota mulai familiar.
Film yang berjudul 'Kejamnya ibu tiri tak sekejam ibukota' tersebut mengisahkan Ateng yang memiliki ibu tiri yang jahat. Dikisahkan, ibu tiri Ateng yang diperankan oleh Doris Celleboute itu kerap menyuruh ateng untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Mulai dari menimba air, memberi makan sapi, mencuci piring, bahkan sampai belanja di pasar. Sementara si ibu tiri malah enak-enakan tiduran di kamar. Bangun tidur pun Ateng harus selalu menyediakan kopi untuk sang ibu tiri ini.
Bahkan, di depan sang ayah, si ibu tiri kerap menjelek-jelekkan Ateng. Ateng dianggap pemalas lah, tidak nurut perintah ibu tiri lah. Bahkan pekerjaan yang sebenarnya dilakukan oleh Ateng, di hadapan sang ayah, si ibu tiri ngaku-ngaku bahwa semuanya dia yang melakukan.
"Lihat nih yah, tangan saya sampai kasar," kata si ibu tiri bersandiwara di hadapan suaminya. Sang ayah pun akhirnya memarahi Ateng sejadi-jadinya.
Merasa disia-siakan ibu tiri, dan tidak dibela oleh ayah sendiri, akhirnya menjadikan Ateng yang tinggal di kampung tidak betah di rumah. Hingga suatu hari, saat belanja di pasar, Ateng bertemu dengan Iskak, teman lamanya di kampung yang belum lama pindah ke kota dan sudah sukses. Iskak yang kemana-mana pakai headset, bahkan saat naik andong pun, mengajak Ateng ke kota.
Iskak bercerita, di kota dia bertemu dengan orang orang yang top. Mulai dari pejabat, artis terkenal, hingga penyanyi dangdut. Tanpa berpikir panjang Ateng akhirnya tergiur dengan omongan Iskak dan ikut ke Jakarta..
Tapi apa yang terjadi setelah di ibu kota? Ternyata Jakarta tak semanis yang Ateng bayangkan. Baru sampai ibu kota saja, tas Ateng sudah digondol maling. Begitulah seterusnya, keapesan-demi keapesan menimpa Ateng, bahkan sampai kelaparan lantaran tak punya uang untuk beli makan.
Kondisi diperparah dengan kenyataan bahwa Iskak yang membawa Ateng ke Jakarta ternyata cuma omdo alias omong doang. Di Jakarta, Iskak ternyata juga kere, yang tak punya pekerjaan yang jelas.
Namun dengan kegigihan dan ketekunan, akhirnya kondisi berbalik. Sedikit demi sedikit Ateng mulai merasakan enaknya tinggal di Jakarta, meski tak semuanya manis. Di akhir cerita, Ateng berujar "Kejamnya ibu tiri, tak sekejam ibu kota," ucap Ateng seraya tersenyum.
0 comment:
Post a Comment