BAB VI
Alasan Yuri
Aku adalah Akika Wakatsu, seorang remaja berumuran tujuh belas tahun. Hobiku membaca manga, menonton anime, dan tidur siang. Yah lebih kerennya bisa dibilang “OTAKU.”
Tapi akhir-akhir ini aku tak punya banyak waktu untuk hobiku itu. Semua ini sudah terjadi semenjak kedatangan charon si iblis pencari jiwa tersesat.
Terlebih semenjak kedatangannya, aku selalu terlibat masalah-masalah besar. Misalnya seperti masalah yang kuhadapi sekarang..
Saat ini aku bermaksud membebaskan jiwa Yuri dari pengaruh iblis yang tersesat di dalam jiwanya.
“Mau kemana kamu, Yuri?” ucapku kepada Yuri, mencoba menahan gerakannya.
Sepertinya Yuri hendak bergegas dari taman ini setelah matahari senja menghilang. Namun selama itu, aku tak beranjak sedikit pun dari tempat Yuri berada. Tetap menemaninya sepanjang waktu, dengan duduk bersebelahan di ayunan yang berada dalam taman itu.
Semua ini sudah terjadi semenjak Yuri terdiam melihat matahari senja.
“Mau kemana lagi, bodoh!” bentaknya sambil memukul pundakku, “sudah pasti aku ingin pulang.”
Aku terkejut mendengar kata-katanya.
“Gawat! bisa-bisa penaklukanku gagal hari ini!” pikirku.
Seketika, di dalam keadaannya, aku mulai mencari-cari alasan. Mencari sebuah perkataan yang masuk akal agar bisa menghentikan kepergian Yuri menuju rumahnya.
Sebab, aku ingin sekali memulai penaklukan yang sudah kususun rapi selama beberapa hari ini.
“Bagaimana kalau kita sedikit lebih lama disini?” pintaku.
Dengan wajahnya yang heran, Yuri menatapku..
“Untuk apa kita berlama-lama di sini?” tanyanya.
Melihat ekpresi Yuri yang seperti itu membuatku sedikit gugup. Kembali, aku berusaha untuk mencari-cari alasan yang tepat.
Setidaknya harus ada alasan yang tepat untuk menahan langkahnya.
“Mungkin kita bisa saling berbagi cerita!” ucapku sambil tersenyum.
Dia menatapku dengan penuh curiga..
Rasanya kata-kataku menjadi pertanyaan besar dalam pikirannya.
“Tak ada hal yang ingin kuceritakan kepadamu,” gumamnya.
Aku terdiam sesaat setelah mendengar perkataan Yuri. Lalu kembali, suasana menjadi hening. Yuri yang biasanya ceria dan ingin tahu sekarang telah menjadi seorang yang pendiam.
“Mengapa?!” pikirku.
“Ada apa dengannya?”
Apa ini pengaruh jiwa yang tersesat di dalam tubuhnya?!
Pertanyaan itu terus mengaduk di dalam pikiranku ketika melihat prilakunya. Namun sikapnya itu tak lantas begitu saja menghentikan langkahku untuk mencari tahu tentangnya. Di tengah keheningan Yuri, kembali, aku memulai pembicaraan dengannya..
“Aku dengar dari pelayanmu, kamu mempunyai masalah belakangan ini yah, Yuri?” tanyaku di tengah alihan pandangannya.
Setelah mendengar pertanyaanku, Yuri mulai mengalihkan pandangannya. Lalu dengan ekpresinya yang tak biasa, dia menanyaiku.
“Eh, bagaimana kamu bisa bertemu pelayanku?” tanyanya penasaran.
Sepertinya Yuri sedikit terkejut mendengar perkataanku yang tiba-tiba.
“Semua itu kuketahui dari pelayanmu,” jawabku, “tadi pagi, aku berkunjung kerumahmu, dan bertemu dengan pelayanmu itu.”
“Pelayanmu berbicara banyak tentang dirimu,” ungkapku.
Yuri terdiam seakan memikirkan perkataan yang baru saja kujelaskan.
“Mengapa kamu ke rumahku?” tanya Yuri di tengah keadaan diamnya.
“Aku ingin melihat keadaanmu,” ungkapku dengan senyuman, “hanya itu.”
Entah mengapa wajah Yuri terlihat sedikit memerah ketika aku mengungkapkan perkataan itu.
“Sebelumnya aku berencana menjegukmu dan melihat keadaanmu, sebab sudah dua hari kamu tidak masuk sekolah,” ucapku,
“Aku terus menunggumu dan kamu tak kunjung pulang.”
Yuri memalingkan tatapannya sejenak, seakan menyesal dengan tindakannya.
“Ada yang ingin kamu ceritakan?” tanyaku kepadanya.
Sebenarnya ini pertama kalinya aku berbicara dan bertanya masalah tentang seseorang. Semua itu karena selama ini hanya manga dan anime saja yang selalu menjadi pertanyaan-pertanyaanku. Namun, di tengah palingan wajahnya, Yuri menjawab..
“Sebenarnya beberapa hari ini aku memikirkan suatu masalah,” ucap Yuri.
“Akhirnya!” pikirku.
“Lantas, apa yang menjadi masalah dalam pikiranmu?” tanyaku kepadanya.
“Tapi itu, sebenarnya..” ucap Yuri ragu.
Dengan sangat sabar, aku berusaha untuk menunggu kata-kata yang diucapkannya. Seperti saat aku sedang mengantri antrian pembayaran manga di Animate dengan sabarnya. Namun jawaban yang diberikannya cukup membuatku kecewa.
“Tapi sebenarnya masalah itu sudah selesai beberapa hari ini!” katanya sambil tersenyum.
Mendengar ucapan Yuri yang seperti itu sangat membuatku kecewa. Rasanya, seperti bagaikan tertimpa sebuah reruntuhan bangunan yang besar dan sangat kokoh. Ternyata sia-sia sudah perjalanan dan waktu yang telah kukorbankan di hari minggu ini.
Melihat ekspresiku yang lemas, menarik perhatian Yuri, dan membuatnya tertawa. Ia tertawa seakan-seakan senang melihat raut wajahku yang kecewa. Lalu di tengah tawanya, Yuri mulai kembali berkata..
“Sebenarnya beberapa hari ini aku terlibat suatu masalah,” ungkapnya.
Mendengar pernyataan dari Yuri semakin menguatkan pendapatku. Ternyata betul seperti dugaanku, Yuri sedang terlibat suatu masalah.
“Apa ini berhubungan dengan jiwa yang tersesat yang ada di dalam dirinya!?” pikirku.
“Jadi, apa yang menjadi permasalahanmu?” tanyaku mengulang kembali pertanyaanku.
Mula-mula Yuri terdiam sesaat, seperti tak ingin masalahnya di ketahui oleh orang lain. Namun melihat raut wajahku yang sangat serius menanggapinya, sepertinya membuat Yuri luluh.
Lalu beberapa saat di tengah diamnya, Yuri bercerita.. Bercerita tentang masa lalunya di masa lampau. Aku memperhatikannya dengan seksama. Lalu aku terus menyimak setiap perkataannya..
Sebenarnya, Yuri berasal dari keluarga cukup terpandang.
Kekayaan keluarganya cukup berlimpah, sehingga ia tidak pernah kekurangan satu apa pun.
Yuri adalah seorang anak tunggal di keluarganya.
Tetapi walaupun hidupnya mewah dan berkecukupan, sesungguhnya dia sangatlah kesepian.
Mengapa?!
Karena bagi orang yang kaya raya, pergaulan hanyalah sebuah ancaman.
Derajat pun harus selalu ditunjukan pada setiap kegiatannya.
Dalam pergaulannya Yuri dipaksa harus memilih.. Tak banyak orang yang bisa berteman dengannya.
Namun di tengah hidupnya yang kesepian itu, tak ada satu pun yang bisa mengisi kekosongan hatinya.
Ayahnya selalu sibuk dengan pekerjaannya, sementara ibunya selalu sibuk dengan bisnis yang dijalankannya.
Hanya ada pelayan rumah yang selalu setia menemani kehidupan kesehariannya disana.
Tapi semua itu tak membuatnya lemah..
Yuri terus berusaha untuk tetap kuat dan tegar menjalani kehidupannya itu.
Walupun terkadang keadaan hidupnya membuat Yuri lelah.
Memang kuakui, untuk pola pikinya di usianya itu sangat mengesankan.
Yuri terus menjalani kehidupannya yang rapuh itu selama bertahun-tahun lamanya.
Namun, sering berjalannya waktu, semua pemikirannya itu membuat hatinya semakin rapuh.
Rasa kesepiannya semakin mendalam ketika melihat teman-teman sekolahnya berkumpul bersama keluarganya.
Melihat temannya berkumpul bersama orang tua mereka pada saat perayaan festival sekolah berlansung.
Begitu juga pada saat ketika menerima nilai latihan ujian sekolahnya.
Teman-temannya terlihat begitu senang melihat kehadiran ayah dan ibunya.
Sementara Yuri hanya bisa menerima kehadiran orang tuanya bersama pelayan setianya.
Lalu kesepian Yuri perlahan berubah menjadi rasa iri dan cemburu.
Mengapa hidupku tak sebahagia mereka?
Itulah yang dipikirkannnya.
Namun, siapa sangka, di tengah kesepian hatinya, Yuri harus kehilangan pelukan yang diinginkannnya.
Kecelakaan maut merenggut nyawa ayahnya.
Ayahnya meninggalkannya di saat Yuri belum merasakan hangatnya pelukan seorang ayah.
Semenjak kejadian itu dia menjadi anak yang pendiam.
Kejadian itu terus berlalu, namun tak pernah bisa mengobati rasa kesepiannya.
Sampai-sampai terkadang Yuri iri melihat lingkungan di sekelilingnya.
“Ayah, hari minggu ini kita bermain yah!” ucap seorang anak kecil di tengah jalan kepada ayahnya.
Rasa iri dan cemburu semakin bertumpuk di dalam hatinya.
Begitulah kisah kehidupan Yuri yang diceritakannya kepadaku. Semenjak bercerita, raut wajahnya berubah menjadi sedih. Sepertinya aku mengerti apa yang dirasakannya selama ini, kesepiannya.. kekosongan hatinya..
Lalu harus kuakui, ini adalah pertama kalinya aku melihat ekspresinya yang seperti ini. Karena selama ini yang kulihat Yuri adalah anak yang ceria dan juga tegar.
“Kalau aku, bagaimana menurutmu?” tanyanya.
“Apakah aku salah jika berpikir seperti itu?” tanya Yuri dengan tatapan sedihnya.
“Tidak, kamu tidak salah,” jawabku kepadanya, “aku mengerti perasaanmu, karena aku sama sepertimu.”
Yuri terkejut mendengar ucapanku.
“Dari dulu dan sampai sekarang, aku sangat susah untuk berkomunikasi,” ucapku, “semua itu karena aku suka menjaga jarak, sebab hanya manga dan anime lah yang mengerti perasaanku.”
“Mungkin semua itu hanyalah sebagian dari alasanku untuk menghindar dari kenyataan,” jelasku, “karena sebenarnya, semua tindakan itu hanyalah ungkapan kecewaanku terhadap ayahku.”
Yuri menatapku dengan wajahnya yang tidak percaya. Tentunya karena ini adalah pertama kalinya aku bercerita kepada Yuri tentang awal mula kebiasaanku serta tentang ayahku.
“Ayahku meninggal waktu aku masih sangat kecil dan menyisakan banyak sekali hutang di dalam kehidupan keluarga kami,” kataku sambil tersenyum kepadanya.
“EHHH?!” pekik Yuri terkejut.
“Itu benar..” ucapku.
Sebelum menceritakannya kembali, aku menarik nafas dalam-dalam. Berharap semua itu dapat menutup emosiku.
“Ayahku adalah seorang penjudi berat, sampai-sampai banyak sekali penagih hutang yang selalu datang menghampiri rumah,” ucapku.
“Setiap hari hanya teriakan bertengkar ibu beserta tangisannya yang selalu kudengar,” ungkapku, “semenjak itu aku selalu menutup diri dari yang lain.”
Yuri mulai menggenggam tanganku, seolah berharap genggamannya dapat menguatkanku.
“Namun pada akhirnya ayahku meninggal karena kebiasaannya meminum-minuman keras..” jelasku.
“Lalu setelah kematiannya, sekarang ibuku harus kuat menggantikannya berkerja untuk melunasi semua hutang-hutang ayahku,” ucapku mengakhiri cerita.
Kemudian dari keadaanku yang sedikit meresahkanku, aku berpaling kepadanya dengan penuh keceriaan.
“Jadi aku sedikit tahu dengan apa yang kamu rasakan!” kataku sambil tersenyum.
Seketika wajah Yuri memerah di tengah perkataan itu. Seakan Yuri terbuai akan senyuman itu dan ceritaku.
“Bodoh!” pukulnya.
Namun, melihat reaksinya yang seperti itu membuat hatiku merasa lega. Sekarang, wajah Yuri terlihat sedikit ceria.
“Tapi kamu hebat yah, Wataku! kamu bisa bertahan dengan keadaanmu yang seperti itu!” ungkapnya.
Mendengar ucapannya membuat sebuah simpul senyum di wajahku.
“Tentu saja..” ucapku dengan bangga, “karena selama ini aku mempunyai suatu alasan untuk tetap hidup!”
Yuri tercengang melihat reaksiku.
“Alasan?” tanya herannya.
“Yah, sebuah alasan!” ucapku.
“Sekarang, aku sudah mempunyai arti di dalam hidupku.. anime, manga dan juga ibu lah yang menjadi alasanku untuk bertahan hidup selama ini!” ungkapku senang.
Entah mengapa Yuri terlihat kesal dan geram.
“Setelah lulus aku harus segera membantu ibuku melunasi hutang-hutangnya! lalu kemudian aku harus tetap hidup agar bisa terus menonton anime dan membaca kelanjutan manga!” ungkapku kepadanya.
“Bodoh!” pukulnya.
Sekarang aku mengerti kekesalannnya.
Namun, di tengah kekesalan akan jawaban bodohku..
“Jadi, jika aku bisa melupakan kesedihanku, mengapa kamu tak bisa melupakan kesedihanmu?” ucapku kepadanya.
Yuri terdiam, sepertinya dia sedang memikirkan sesuatu. Aku sangat berharap Yuri akan merenungkannya.
“Ayolah Yuri.. renungkanlah!” pikirku.
“Aku sudah sangat lelah..” gerutuku di dalam hati.
****
Aku ini siapa?
Untuk apa aku dilahirkan?
Oh, iya..
Sekarang aku tahu tujuanku.
Kurasa aku harus merenungkannya kembali dari awal..
Aku adalah Yamada Yuri, seorang putri dari keluarga Yamada.
Aku tak begitu mempunyai banyak teman di sekolah, mungkin itu semua karena sifat tertutupku.
Ketika melihat seseorang memandangku, aku menjadi gugup.. entah mengapa..
Sebenarnya pada dasarnya aku adalah seorang anak yang pemalu dan baik hati.
Meskipun aku sedikit kasar dan jahil untuk seseorang yang sudah kukenal cukup lama.
Namun, kenyataannya kekasaranku hanyalah sebagai sebuah penyamaran untuk menutupi kelemahanku.
Menyedihkan bukan?
Suatu cara serta ungkapan untuk mencari perhatian dari teman-teman yang kukenal.
Akan tetapi tak banyak juga yang mengerti akan hal itu.
Tak ada yang mengerti..
Setelah mengetahui kekasaranku, mereka menjauh.
Namun, semua itu berbeda setelah bertemu dengannya..
Pertemuan dengan Akika wakatsu, atau yang sering kusebut Wataku telah merubahku.
Sebelum itu aku hanyalah seorang wanita pendiam.
Kurasa aku harus mengulang kejadian itu.
Waktu itu, tepatnya kira-kira tujuh tahun yang lalu..
Di saat itu aku pertama kali melihatnya..
Bertemu dengannya tanpa disadarinya.
Saat itu aku sedang berbelanja dengan ibuku mencari bahan makanan..
“Yuri-chan, hari ini kamu mau memakan masakan apa?” tanya ibu kepadaku.
“Aku ingin sup jamur Okaa-chan!” jawabku tersenyum.
Namun ketika itu dia tak menyadarinya..
Di tengah pencarian bahan makanan yang dilakukan oleh ibuku, aku mulai merasa bosan. Namun di tengah kebosananku, tiba-tiba aku melihat seorang anak laki-laki yang sedang berjalan dengan santainya sambil membaca manga. Anak itu membaca seakan-akan tak peduli arahnya.
“Aneh sekali..” pikirku.
Dengan santainya, anak laki-laki itu berjalan mengikuti ibunya di belakang sambil membaca manga. Namun, keberuntungan tak berpihak pada anak laki-laki itu. Kejadian itu terus berlansung, sampai tiba-tiba..
“Aduh!” teriak anak itu kesakitan.
Tubuhnya menabrak dinding etalase kaca yang menjadi batas pintu masuk pada sebuahbassement. Itu semua akibat kecerobohannya yang tidak memperhatikan jalan. Anak itu terjatuh, dan terus memegang dahinya yang memar. Kelihatannya benturannya cukup keras sehingga membuatnya berteriak kencang. Aku pun tertawa melihat dahinya yang memar.
“Sungguh bodoh! hahaha!” gumamku di dalam hati.
“Lagi-lagi kamu membaca manga ketika berjalan Wakatsu,” ucap ibunya sambil menghela nafas.
“Wakatsu? jadi namanya Wakatsu..” pikirku.
Semenjak kejadian itu, aku sering mengajak ibuku untuk berbelanja di tempat itu. Walaupun terlihat sedikit kecurigaan dimata ibu ketika melihat prilaku anehku itu. Akan tetapi tak sedikit pun ibu menolaknya, dan tetap memenuhinya.
Setiap kali aku berada ditempat itu, aku selalu bertemu dengannya. Perlahan-lahan sejalan dengan berjalannya waktu, aku mulai mengaguminya secara diam-diam. Kejadian bodoh selalu saja terjadi setiap aku berada di tempat itu dan melihatnya. Setidaknya itu cukup menghiburku dari rasa kesepian dan kecemburuan dari anak lainnya.
Tapi setelah beberapa waktu anak laki-laki yang bernama Wakatsu itu sudah sangat jarang terlihat di dalam tempat itu.Kembali, kesedihan dan kesepian menyelimutiku setelah kehilangan sosoknya. Aku tak bisa lagi melihat kekonyolan dirinya, kehadiran dirinya.
Lalu, tanpa kusadari.. Waktu terus berlalu..
Hari terus berganti.. Tahun ke tahun terus terlampaui..
Tak terasa aku sudah mulai beranjak dewasa..
Sudah tujuh tahun lamanya waktu terlewati..
Sekarang aku sudah memasuki kelas satu SMA.
Perlahan, aku mulai terbiasa dengan ketidak hadiran keberadaan Wakatsu di mataku.
Tapi tuhan berkehendak lain..
Waktu mempertemukan aku kembali dengan sosoknya..
"Anak-anak, Ibu akan memperkenalkan anak baru pada kalian!" ucap sensei kepada kami, "dia adalah murid lulusan dari SMP NAGOYA."
Lalu anak itu masuk dan memperkenalkan diri..
"Namaku adalah Akika Wakatsu! hobiku membaca manga dan menonton anime!"
"Salam kenal!" ucap pemuda itu.
Teman-teman tertawa mendengar ucapannya. Semestinya ia sudah menyadarinya bahwa ucapannya itu sangat konyol. Mungkin juga teman-teman di kelas tertawa karena mereka baru pertama kali ini mendengar ada seorang pria memperkenalkan diri berserta hobinya. Terlebih lagi hobinya terlalu kekanak-kanakan. Begitu juga denganku, aku ikut tertawa setelah mendengar ucapannya bersama dengan teman-teman.
“Sungguh aneh pria yang bernama Akika Wakatsu itu..” pikirku.
Aku mulai memperhatikan wajahnya dalam-dalam. Namun ketika aku memperhatikan wajahnya perasaan lamaku kembali muncul. Aku merasakan sesuatu yang telah lama kulupakan. Perlahan aku berusaha mengingat sesuatu yang telah lama kutinggalkan itu.
“Tunggu dulu.. Akika Wakatsu?!” pikirku.
Setelah berhasil mengingatnya, aku terkejut. Aku sungguh terkejut melihat kenyataan yang ada di depanku. Perasaan hangat yang selama ini telah kukubur dalam-dalam, wajahnya yang tak asing dimataku.
“Benar, Wakatsu!” ungkapku didalam hati, seakan tak percaya dengan keadaan itu.
“Dia wakatsu yang selama ini kukagumi!”
Aku sungguh tak percaya dengan yang kulihat, kenyataan yang ada.
Aku merasa seolah takdir mempertemukan kita kembali.
Dan begitu pembagian tempat duduk..
“Baik anak-anak! pertama-tama sebagai wali kelas ibu ucapkan selamat kepada kalian karna telah lulus dan masuk ke kelas ini. Dan baiklah lansung saja ibu katakan, pemilihan tempat duduk tahun ini akan ibu atur melalui undian yang ada di kotak meja tempat ibu berada. Nah kalian majulah satu-persatu.”
Dan setelah gilirannya...
“Apa ?! di depan Yuriiiii ?!” teriaknya tidak percaya.
Aku pun hanya tersenyum manis menanggapinya.
Aku senang sekali ketika aku mengetahui Wakatsu bersekolah di dalam sekolah yang sama denganku. Lalu semenjak hari itu, aku terus menjahilinya.
Begitulah kisah manis yang aku pendam sejak dulu kepadanya. Namun dia tak pernah tahu tentang semua itu. Biarlah semua ini menjadi rahasia manis dalam hidupku.
Namun beberapa hari yang lalu, tepatnya pada tanggal sembilan juli, pihak sekolah menyelenggarakan acara pertemuan atau rapat dengan orang tua.
Pada acara itu, perwakilan wali dari siswa diperkenankan untuk hadir dalam pertemuan itu.Tapi seperti pada saat aku berada di dalam jenjang SMP sebelumnya, ibuku tak bisa datang menemaniku menghadiri acara itu. Itu semua karena ibuku terlalu sibuk dengan urusan pekerjaannya. Sebenarnya semua itu tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa dengan hal itu. Tapi waktu itu, pada saat itu ada suatu hal yang sangat membuatku kecewa.
“Hei, Yamada-san! kudengar besok akan diselengarakan acara pertemuan guru dengan orang tua,” ucap seorang teman di kelas kepadaku.
“Benarkah?” ucapku terkejut.
“Itu benar!” ucap temanku itu, “sungguh sial.”
“Mengapa pihak sekolah harus melakukan hal yang menyebalkan seperti ini!” ungkapnya kecewa.
Tetapi pada saat itu aku hanya tertawa melihat reaksinya. Namun perkataan selanjutnya membuatku sedikit tertegun.
“Bagaimana? apakah ibumu akan datang menemui acara itu?” tanyanya.
Untuk sejenak aku terdiam di dalam perkataannya. Tentu saja aku telah mengetahuinya.
Mengetahui jawabannya.
“Mungkin ibuku akan mengikuti pertemuan itu,” jawabku.
“Syukurlah,” ucapnya.
“Karena acara pertemuan kali ini ada sebuah peraturan khusus! seluruh siswa mempunyai kesempatan untuk menambah nilai dengan mengajak orang tua ikut berlomba dalam kegiatan festival yang dilakukan pihak sekolah ini!” ungkapnya, “walaupun itu cukup menyebalkan.”
Aku terdiam,
Terpaku mendengar pernyataannya.
“Baiklah kalau begitu, sampai jumpa nanti, Yamada-san!” ucapnya.
Setelah itu ia berlari meninggalkanku.
Lalu tak lama kemudian, sampailah pada saat kejadian tiga hari yang lalu itu. Kejadian yang membuatku cemburu dan begitu kesal.
“*Otou-san, ayo kita harus segera mengikuti perlombaan itu!” ucap seseorang di sekitarku.
Begitu juga pada saat seorang siswa mengajak temannya untuk berkenalan dengan orang tuanya. Pada saat orang tua mereka berkenalan satu sama lain dengan canda tawa. Walaupun ada juga beberapa anak yang terlihat kesal sepertiku dan terlihat tidak menyukai kedatangan orang tuanya.
*Otou-san = Ayah.
Memang pelayanku datang dalam acara itu, namun bagiku itu semua percuma. Aku tak sedikit pun mengikutinya. Itu semua kulakukan karena aku cukup kesal dengan ibuku. Wajar saja, sebagai seorang anak tentunya aku hanya ingin sekali saja ibuku menyempatkan waktunya yang berharga untukku.
Lalu pada saat bersamaan, seorang teman yang memberitahukan acara ini kepadaku itu menghampiriku. Namun saat melihatnya, aku hanya bisa terdiam.
“Ini orang tuamu, Yamada-san?” tanyanya kepadaku.
Aku hanya terdiam tanpa mengubrisnya.
“Maaf, saya mengganggu waktu anda.. saya temannya Yamada-san,” ungkapnya memperkenalkan diri kepada pelayanku.
Semenjak kejadian yang terjadi di hari itu, setelahnya aku memutuskan untuk menghiraukannya dan mengikuti pelajaran seperti biasanya.
Mencoba kuat seperti biasanya.
Namun semua itu sangat sulit dilakukan.
Tidak bisa kulupakan.
“Lihat, Itu dia! dia anak itu!” ucap seseorang di dalam kelasku.
“Orang tuanya tidak pernah menghadiri acara pertemuan, bahkan acara penambahan nilai kemarin pun orang tuanya tidak datang dan di wakilkan.”
“Apakah ia sudah tak mempunyai orang tua?”
Begitulah perbincangan yang terjadi diantara teman-teman di sudut kelas setelah acara itu berlalu. Lalu karena alasan itu lah aku tidak mengikuti pelajaran sekolah selama dua hari ini.
Aku masih memikirkan kejadian itu.
Begitu juga saat pelayanku bertanya tentang nilaiku, aku tak menjawabnya. Lalu aku memutuskan untuk mengurung diri di kamar.
Namun hari ini..
“Tentu saja, karena aku mempunyai alasan untuk tetap hidup!”
“Jadi, jika aku bisa melupakan kesedihanku, mengapa kamu tak bisa melupakan kesedihanmu?” ucapnya kepadaku.
Mengapa aku harus iri dengan anak yang lain? Sementara Wakatsu selalu santai menghadapi semuanya?
Andai saja aku sedikit baik dan ramah, mungkin aku sudah mempunyai banyak teman.
Aku sungguh menyesalinya.
Aku mulai memikirkan semuanya satu persatu sebagai permintaan maaf kecilku..
Kurasa aku harus melupakan semuanya..
Masalah demi masalah yang selama ini mengganjal di hatiku.
Perasaan cemburu pada anak lainnya yang berbahagia dengan ayah dan ibunya.
Perasaan cemburu akan datangnya orang tua mereka pada saat pengambilan nilai.
Acara yang berlansung beberapa hari yang lalu.
Aku harus mulai melupakannya.
Akhirnya jauh di dalam hatiku, aku tersadar.
Tersadar akan dosaku,
dosa kecemburuan.
***
“Terima kasih, Wataku!” ucap Yuri kepadaku.
Seketika setelah ucapannya itu, Yuri meninggikan tepian injakan kakinya. Dengan tangannya yang lembut, ia memeluk erat tubuhku dan..
Menciumku?!
Apa?!
Ini semua tak ada dalam sekenarioku!
Tidak terbayang sedikit pun dalam benakku kejadian seperti ini akan terjadi. Aku sangat terkejut mendapatkan ciumannya yang tiba-tiba itu. Terlalu terkejutnya, sampai-sampai aku tak dapat berkata apa-apa ketika bibir hangatnya menyentuh bibirku.
Aku tak bisa menahan lekat bibirnya.
Ini adalah pertama kalinya aku merasakan seorang gadis cantik berciuman denganku. Aku hanya terdiam tanpa bisa menahannya. Namun sepertinya aku mulai menikmati ciuman singkat yang sedang berlansung ini. Hangat tubuhnya dan juga pelukannya bisa kurasakan di setiap iringan nafasnya.
Wajahnya sungguh sangat dekat, dekat sekali. Hanya ada beberapa inchi saja wajahnya yang terpisah dengan wajahku.Lalu wajahnya itu sungguh sangat cantik bila dilihat lebih dekat seperti ini. Untuk pertama kalinya wajah Yuri terlihat sungguh tenang dan sangat lembut.
Perlahan, aku mulai membiasakan diri dengan keadaan ini dan menikmati hangat bibirnya. Namun, seiring berjalannya waktu, pelukannya semakin kuat dan juga ciumannya semakin dalam.
“Jadi ini rasanya berciuman..” pikirku.
Tak lama setelah ciuman ini berlansung, munculah kejadian seperti yang pernah kualami. Kabut tebal keluar dari sekeliling tubuh Yuri dan mulai membentuk sebuah wujud. Wujud sang iblis yang bersembunyi dalam tubuh Yuri.. Sebuah jiwa yang tersesat yang selama ini diincar Charon.
Sesosok iblis yang menyeramkan.
Tak habis kata aku menggambarkan apa yang aku lihat. Asap itu membentuk sesosok iblis, lebih tepatnya seperti Naga Air! Itulah yang sering kulihat di dalam manga. Matanya merah, nafasnya mendesah. Tatapannya penuh dengan dendam. Dari sorotan matanya saja seakan iblis itu dapat membunuh siapa saja yang melihatnya.
“Leviathan!” teriakku dalam hati.
“Jadi seperti ini wujud leviathan..” pikirku.
Benar-benar, sungguh sangat mengerikan ketika memandang sosoknya. Sejenak, tubuhku membeku melihat tatapannya. Tetapi itu tak berlansung lama. Sepertinya semenjak pertemuanku dengan Charon dan Belphegor, membuatku sedikit terbiasa melihat hal ini.
“Tenyata iblis tak hanya berbentuk manusia seperti Belpheghor atau Charon.” pikirku.
Akan tetapi perasaan menekan muncul dari arah Leviathan. Sebuah perasaan yang sangat mengancam dan mencekam.
“Perasaan menekan dan berbahaya apa ini?!“ p ikirku.
Aku berusaha semaksimal mungkin mencari cara untuk memberitahu Yuri. Namun sayang, semua itu sia-sia. Yuri masih saja menikmati ciuman yang sedang berlansung ini.
Tetapi melihat sorot mata Leviathan membuatku enggan dan cemas. Lalu ditengah rasa cemasku, aku memegang pundak Yuri dan mengguncang-guncangnya.
Mengguncangnya dan berusaha untuk melepaskan ciuman serta pelukan yang sedang berlansung.
Tapi masih saja Yuri tetap menikmati ciuman yang berlansung. Sedangkan aku menjadi sangat panik, takut dan gugup dengan bahaya yang ada di belakangnya.
Namun,
sepertinya usahaku tak sia-sia..
“Eh? mengapa?” tanyanya, setelah melepas ciumannya dari bibirku.
“Itu!!” tunjukku di belakangnya.
Mendengar ucapanku, Yuri menengok kebelakang dan..
“Kyaaaa!” dia pun berteriak.
Di tengah keadaan yang berbahaya itu, aku menenangkannya.
“Ayo, kita harus segera lari” ucapku kepadanya.
Aku menarik tangannya,
menggenggamnya dengan erat dan membawanya berlari.
“Bagaimana ini?” tanyaku dalam hati.
“Bagaimana aku bisa lolos dari keadaan ini?” pikirku.
Dark Eyes - The Beginning of Evil All Chapter
Chapter 06 - END
To be continued Chapter 07 - Akhirnya Charon Muncul
0 comment:
Post a Comment