• Latest News

    Saturday, February 27, 2016

    [Light Novel Indonesia]Dark Eyes - The Beginning of Evil ( Chapter 10 - Benih Cinta )

    • Title: Dark Eyes - The Beginning of Evil ( Phrase 10 )
    • Author: Valdo L Finz
    • Genre: Fantasy, Action, Romance, Slice of life, Comedy.
    • Status: Completed 
    BAB X
    Benih Cinta


    “Adikku bersekolah Di SMP Nagoya. Dia berada di ruang kelas 3-A di sana.”
    “Jadi tolong adikku yah, Akika-san! aku mohon padamu!”
    “Jika tidak, warnanya akan segera menghilang!”
    “Jika salah satu warnanya menghilang, jiwanya akan terancam.. bahkan kemungkinan terburuk..”

    Kematian.

    Begitulah kata-kata terakhir yang diucapkan nakata kepadaku sebelum aku beranjak pulang ke rumah.

    “Sungguh merepotkan,” gumamku lelah.

    Sungguh aneh bukan? Bertemu sebelumnya saja tidak pernah, lalu terlebih lagi sekarang ia meminta pertolongan kepadaku. Ia mengucapkan perkataan itu tanpa ragu-ragu seperti meminta tolong kepada seseorang yang dikenalnya. Mungkin karena sifatnya yang sedikit aneh, mungkin. Walaupun sebelumnya permintaannya itu membuatku terkejut.

    “Apa?! mengapa kau meminta tolong kepadaku?!” ucapku terkejut.

    Pada saat itu, aku sungguh terkejut. Tentu saja pernyataannya itu sungguh tak masuk akal untuk ukuran orang yang baru bertemu. Mengenal kepribadiannya saja tidak, bagaimana mungkin ada alasan untuk menolongnya.

    Tetapi memang benar, kalau dibilang tentang alasan, sebenarnya semua hal itu masih mengganjal di dalam pikiranku.

    Tentang jiwa tersesat.

    Pada pertemuan sebelum sore yang semakin menjadi itu, aku mengira-ngira bahwa adiknya tersesat dalam jiwa tersesat. Tapi semua itu tak lebih dari dugaan sebelum aku benar-benar menemui adiknya dan menyadarkannya. 

    Yah wajar saja, hanya dengan cara itu aku bisa memastikannya. Bila dugaanku benar, jiwa tersesat itu akan terlihat.

    Namun melihat tatapan Nakata membuatku enggan untuk menolongnya.

    “Kumohon tolonglah adikku, Akika-san!” ucapnya sambil menundukkan kepalanya.

    “Tunggu! tunggu dulu! jangan seperti itu!” ucapku.

    “Bukankah kamu bisa meminta tolong kepada teman yang lebih mengenalnya’kan?” tanyaku.

    Sejenak di dalam posisinya itu, ia tak beranjak sedikit pun. Lalu di tengah keadaannya itu, ia menjawab pertanyaanku dengan nadanya yang parau.

    “Sayang sekali, itu tidak bisa kulakukan,” katanya dengan nada menyedihkan.

    Ia mengucapkannya..

    Seperti orang yang tidak bisa melakukan apa-apa.

    “Mengapa?” tanyaku.

    “Itu karena aku tak mengenal satu pun temannya. Lalu pada saat ini juga, aku tidak bisa meminta pertolongan kepada teman-teman yang kukenal,” ungkapnya.

    “Heh?!” pekikku heran.

    “Mengapa seperti itu?” tanyaku heran.

    “Aku sudah meminta pertolongan kepada teman-teman yang kukenal untuk membujuknya selama dua hari ini, namun semua itu tak membuahkan hasil,” jelasnya. 

    ”Semua teman-temanku yang mencoba membujuknya menyerah, mungkin itu karena sifat rizuna yang keras kepala dan cukup kasar,” jelasnya.

    Mendengar penjelasannya membuatku terdiam.

    “Walaupun aku tak begitu mengenalmu, kumohon! tolonglah adikku, Akika-san!” ucapnya.

    Melihat keteguhannya membuatku tergerak.

    Sejenak aku berpikir dalam-dalam tentang permintaannya. Yah memang, permintaannya ini sangat menyulitkan. Namun pada akhirnya, melihat sikapnya membuatku tergerak dan akhirnya aku memutuskan untuk menolongnya.

    “Baiklah.. baiklah.. aku akan menolongmu,” ucapku, “sekarang, tolonglah angkat kepalamu.” 

    “Benarkah?” ucapnya girang.

    Seketika ia mengangkat wajahnya dan melihatku dengan tatapannya yang senang. Yah walaupun aku sedikit malu melihat reaksinya itu. 

    “Benar.. aku akan menolongmu,” jawabku.

    “Terima kasih, Akika-san!” ucapnya sambil menundukan kepalanya kembali.

    “Sudahlah.. jangan seperti itu!” ucapku heran akan sikapnya itu.

    Sungguh tadi itu adalah suatu hal yang sangat menyulitkan..

    “SMP Nagoya’kah?”  pikirku.

    Sudah setengah tahun lamanya aku beranjak meninggalkan SMP Nagoya,

    Terlebih lagi tempat itu adalah tempat dimana semua kenangan burukku terjadi.

    “Entah jadi apa besok..” gerutuku.

    Perlahan aku mulai mengingatnya..

    Mengingat semua kejadian pada lima tahun yang telah berlalu..

    Memang semenjak ayahku meninggal, ibu terjerat pada hutang yang ditinggalkan oleh ayahku. Semua itu terus ibu jalani..

    Nasibnya yang menyedihkan itu.

    Tanpa mengeluh sedikit pun, ia menjalaninya. Hidup dengan berpindah-pindah rumah adalah cara kami untuk bertahan hidup.

    Menghindar dari penagih hutang.

    Itu pun terpaksa kami lakukan, karena keadaan kami yang tak memungkinkan untuk melunasi semua hutang-hutang tersebut. Walaupun terkadang aku merasa malu, sebab di sekolah aku selalu menjadi bahan gunjingan teman-teman di kelas. Tidak! Bahkan *Senpai di sekitarku juga ikut mencibirku. Tak cukup hanya itu, teman-teman bermainku mulai menjauhiku satu persatu.

    “Jangan berteman dengannya, bisa saja kau dimanfaatkan untuk membayar hutang-hutangnya,”  itulah kata-kata yang sering kudengar dari teman-teman di sekitarku.

    Terkadang aku pernah berpikir ingin mengakhiri hidupku yang sangat menyedihkan ini. Hidup sebagai seorang serangga yang tak berarti di mata teman-temanku. Hanya dipandang sebelah mata oleh mereka. Sampai tiba akhirnya aku bertemu wanita itu..

    Pada malam itu, tepatnya pada tanggal Tujuh Juli lima tahun yang lalu.

    *Senpai = Senior atau kakak kelas.

    ***

    Hari itu adalah hari *Tanabata. Saat itu setiap keluarga sibuk dengan kegiatannya, seperti menghias pohon bambu dengan ornamen-ornamen kecil. Mereka menuliskan permohonan, harapan dan asmara  masing-masing pada selembar kertas berwarna-warni dan menggantungkannya pada ranting-ranting pohon bambu yang telah disiapkannya.

    Sementara aku hanya bisa melihat semua itu dari kejauhan di sudut jalan. Kehangatan terpancar dari setiap sudut rumah yang kulihat. Itu semua bisa kurasakan dari tatapan bahagia beserta canda tawa yang mereka luapkan. Orang tua dan juga kerabat mereka masing-masing berkumpul satu persatu bersiap untuk memulai merayakan festival tersebut.

    Tapi aku?! Aku hanya bisa berdiri terdiam dan memandang mereka dengan tatapan kosong. Hanya langit malam yang menjadi teman terbaikku pada saat itu. Entah mengapa untuk pertama kalinya dalam hidupku aku merasa sangat kesepian jauh didasar lubuk hatiku.

    “Mengapa rasanya sesakit ini yah?!”  pikirku.

    Aku terus berjalan mengiringi gelapnya malam. Hanya langkah kekosongan yang mengisi arahku saat itu. Sementara dihari yang bersejarah itu, ibuku sedang sibuk bekerja di luar. Mencari sebuah jalan untuk dapat terus bertahan hidup menghadapi kenyataan yang kejam ini. Tapi entah mengapa.. tiba-tiba saja terlintas kata didalam benakku..

    “Mengapa kau tidak bunuh diri saja? mungkin beban ibumu akan lebih ringan jika kau tidak ada?”  katanya.

    Apakah itu yang namanya iblis?!

    Yah, pada saat itu aku masih belum mengerti apa-apa. 

    Belum mengerti akan semua hal itu.

    “Siapa kau!” teriakku.

    Seiring aku menanggapinya, perkataan itu semakin terdengar sangat jelas. Lalu kata-kata yang terlintas di dalam pikiranku itu, perlahan-lahan mulai menggodaku.

    “Bunuh dirilah! tak akan ada yang memperdulikanmu!” 

    “Mungkin ibumu akan sangat senang bila kau tak ada didunia ini!”  ucapnya. 

    “Diam!’ teriakku. 

    Sebisa mungkin aku berusaha untuk menghentikan semua suara-suara itu. Namun sepertinya semua itu tidak akan bekerja. Tentu saja saat ini pikiranku sangat kacau. Mungkin itu yang menyebabkan suara itu tak kunjung hilang.

    “Bunuh diri saja sana! karena keberadaanmu adalah beban untuknya, sama seperti ayahmu!”

    Aku terdiam ketika mendengar kata-kata terakhir darinya. Kata-kata itu sungguh sangat menusuk dan sangat membekas di hatiku. Setelah itu, kata-kata itu mulai menghilang. Seakan kata-kata terakhirnya itu adalah sebuah kartu Joker dalam permainan remi yang membuat siapa saja kalah bila mengeluarkannya.

    Aku memikirkan perkataannya dalam-dalam..

    Kata-kata terakhir yang terlintas dipikiranku.

    Jauh di dasar lubuk hatiku, di dalam pikiranku..

    Aku menangis pilu.

    “Benar, keberadaanku hanyalah beban untuk ibuku,” ucapku sambil menangis.

    “Untuk apa aku terus hidup seperti ini, Kami-sama,” kataku menengadah menatap langit. 

    Aku terus memikirkannya sambil meratapi nasibku.

    Semua penderitaanku yang telah kualami selama ini.

    Lalu akhirnya aku sampai pada batasku.. 

    Batas akal sehatku.

    Dengan langkah yang tergesa-gesa, aku berlari menuju jembatan yang ada di daerah itu. 

    Benar, sebuah jembatan layang.

    Di bawahnya aku bisa melihat lalu lintas yang sangat padat dan sangat cepat. Aku memandang kebawah, menyiapkan diri, lalu bersiap mengakhiri hidupku.

    “Kami-sama, bila ini jalanmu restuilah aku.. bawalah aku disisimu,” ucapku sambil menatap langit.

    Setelah berhasil mengucapkan permohonan, perlahan aku mulai memejamkan mataku. Aku menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan diri sejenak. Kemudian aku bersiap untuk melompat.Aku berdiri tepat di atas tepi pembatas jembatan itu. Lalu mencoba melepaskan diri melawan gaya gravitasi bumi.

    Kemudian mulailah aku melakukan semua keinginan yang menganjal itu. Secara perlahan, aku mulai menutup mataku dan mencondongkan tubuh ke depan. Kejadian itu terus berlansung, sampai pada saat yang bersamaan..

    Seseorang menarik tubuhku!

    Seseorang memeluk tubuhku dari belakang dengan sangat eratnya dan menarikku. Jelas saja aku lansung menimpa tubuhnya serta tubuh kami saling bedekatan.

    “Aduh, kau berat sekali!” ujarnya.

    Sejenak aku berpaling ke arahnya. Ternyata dia adalah seorang wanita. 

    Wanita yang belum pernah kukenal sebelumnya.

    Tak tahu mengapa, wanita itu menarikku dan menghalangi perbuatan nekatku.

    “Ada apa ini?! mengapa dia menghalangiku?!”  pikirku.

    “Lepaskan!” ujarku kepadanya yang berada tepat di punggungku.

    “Bodoh!” jawabnya.

    “Jika aku melepaskanmu, mungkin kamu akan melakukan hal yang sama kembali,” alasannya.

    “Diam! itu bukan urusanmu!” teriakku.

    “Memang itu bukan urusanku, tapi.. ” gumamnya.

    “Bila aku melihat seseorang terjatuh di hadapanku, bukan berarti aku harus diam saja’kan?” jawabnya.

    Aku tersentak mendengar ucapannya.. 

    Kata-katanya sangat menenangkanku.

    Sepertinya kata-katanya memang benar.

    Tiba-tiba saja air mata mulai menetes dipipiku. Air mata kesedihan yang selama ini selalu kusimpan dalam-dalam. Entah mengapa pada saat itu air mataku tak henti-hentinya meluap.

    Lalu setelah melihatku menangis, wanita itu melepaskan pegangannya yang kuat. Sepertinya pegangannya itu menjadi isyarat untuk menahan perbuatanku yang bodoh.

    “Apa sih yang kau pikirkan hingga sampai-sampai kau berbuat jauh seperti itu,” gerutunya sambil mengulurkan sebuah sapu tangan.

    Aku mengambil sapu tangan yang diberikannya untukku.

    Aku mulai menghapus air mataku dengan sapu tangannya.

    “Terima kasih,” ucapku kepadanya.

    Baru kali ini aku merasakan kehangatan dari seorang wanita selain ibuku yang selalu menjagaku.

    “Lain kali berpikirlah sebelum bertindak,” ujarnya.

    “Lalu jangan coba lagi melakukan perbuatan bodoh itu kembali,” ancamnya.

    “Apakah ini yang sering disebut dengan pembela kebenaran?”  pikirku.

    Aku terdiam sejenak dan termenung mendengar ucapannya. Tentu saja, coba saja pikir, jika saja dia tidak menghentikanku mungkin aku sudah mati.

    “Maafkan aku,” gubrisku.

    “Kamu membuatku merasa cemas,” ungkapnya.

    “Cemas katanya?”  pikirku tidak percaya.

    “Mengapa kamu merasa cemas pada orang yang belum pernah kamu kenal?” tanyaku setelah berhasil menghapus air mata.

    “Menolong orang tak perlu alasan bukan?” ucapnya.

    “Coba bayangkan, jika saja tadi aku tidak datang di saat yang tepat, entah apa yang akan terjadi pada kamu,” jelasnya.

    “Tapi aku merasa senang bisa menolongmu melewati masa-masa sulit itu,” katanya sambil tersenyum, “hanya itu, aku tak membutuhkan alasan!”

    Mukaku memerah terbuai mendengar ucapannya. Baru kali ini aku mendengar ucapan itu seorang wanita. Sementara teman-temanku hanya mejatuhkanku dan mengejekku. 

    Tapi dia berbeda..

    Dia memberikan semangat untuk hidupku. Menyemangatiku dengan kata-katanya.Setelah itu, kami terus menatap indahnya bintang di langit secara bersamaan. Baru kali itu aku bisa merasakan indahnya bintang-bintang.

    “Walaupun aku tak tahu akan permasalahanmu, kamu harus tetap semangat menjalani hidup sesulit apa pun itu,” ucapnya, “karena di atas langit masih ada langit, jadi jangan patah semangat semudah itu!” 

    “Terima kasih,” ucapku kepadanya.

    Hanya itu kata-kata yang bisa aku gambarkan kepadanya pada saat itu.

    “Baiklah, aku harus segera bergegas! masih ada yang harus kulakukan!” ucapnya sambil beranjak meninggalkanku.

    Belum sempat aku berkenalan dengannya, ia sudah beranjak pergi meninggalkanku. Mungkin ini salahku, karena hanya terdiam pada saat ia berbicara kepadaku.

    Aku hanya bisa menatap tubuhnya yang pergi secara perlahan meninggalkanku. Padahal aku ingin sekali menahan langkahnnya. 

    Menahannya lebih lama di dekatku.

    Tetapi mulutku tak bisa berbicara pada saat itu. Entah mengapa aku ingin sekali berbincang-bincang lebih lama dengannya.Namun sebelum tubuhnya pergi menjauh dan benar-benar menghilang, tanpa melihat ke arahku dia berkata..

    “Kamu tahu mengapa hari ini disebut Tanabata?”

    Aku hanya terdiam tanpa menjawab apa pun. Namun, melihat reaksiku tak membuatnya bungkam. Kemudian dia melanjutkan perkataannya..

    “Hari Tanabata disebut juga sebagai festival bintang, dan sebenarnya berasal dari legenda china,” jelasnya, “Yang menggambarkan pertemuan sepasang kekasih yang hanya dapat bertemu sekali dalam setahun,” 

    “Dinamakan Tanabata karena gadis penenun legenda jepang dipercaya membuat baju dewa-dewa itu,” ungkapnya.  

    “Jadi, maksud dari ceritaku ini, bila kamu tak bisa mendapatkan angin segar itu, jadilah angin segar itu sendiri.” 

    Setelah ucapannya yang singkat itu, sejenak ia berpaling ke arahku dan tersenyum. Wajahku memerah, aku sungguh terpesona akan kata-kata dan juga senyumannya.

    “Sampai jumpa di lain waktu!” lambainya.

    Itulah ucapan terakhirnya yang diberikan untukku. Setelah itu dia berlari dan menghilang dari pandanganku. Sehabis kejadian itu, aku mulai beranjak bangkit dari keterpurukanku. Tak ada lagi suara-suara yang mengangguku setelah wanita itu datang. Aku terus menatap langit dan memikirkan kata-kata yang sudah diberikannya untukku.

    “Bagaimana wanita bisa sekuat itu!?”  pikirku.

    “Akankah aku kembali bertemu dengannya?” ucapku sambil menatap langit.

    “Hari Tanabata benar-benar indah!” teriakku seraya tersenyum.

    ***

    Setelah kejadian singkat itu, aku mulai beranjak kembali menuju rumah. Sesampainya di rumah, ibuku sudah menungguku. Ia terlihat sangat cemas ketika memandangku. Kenyataannya dengan cemas ibu menunggu kedatanganku yang tak kunjung pulang.

    “Darimana saja kamu!” ucapnya dengan nada marah.

    Memang benar, sekarang sudah jam setengah dua belas malam. Semua orang telah tertidur di bawah lelapnya malam.

    “Maafkan aku okaa-san, tadi aku...” ucapku takut.

    Belum selesai aku mengucapkan alasanku, ibuku sudah menujuku ke arahku dan..

    Memelukku dengan hangat.

    Ibu memelukku dengan erat, seakan takut akan kehilanganku.

    “Ibu mencemaskanmu, Wakatsu..” ucap bibirnya dengan sebuah pelukan hangat, “ibu takut terjadi sesuatu denganmu.” 

    Seketika aku menangis di dalam pelukannya.

    Menangis seperti seorang bayi.

    Pelukannya yang hangat meluluhkan hatiku.

    Setelah kejadian itu, aku berjanji takkan mengulangi perbuatanku yang bodoh kembali. Seperti bunuh diri yang baru saja akan aku lakukan.Bunuh diri atau membunuh takkan menyelesaikan masalah.

    Kemudian sebelum hari Tanabata benar-benar berakhir, aku bersama ibuku mulai menghias pohon bambu yang berada di halaman rumah. Walau tak sebagus dengan hiasan yang ada di sekitar rumah tetangga lainnya, aku merasa sangat senang. 

    Senang rasanya bisa berbahagia bersama ibuku.

    Akhirnya ibu mencapai batas kesadarannya dan ia mulai beranjak tidur. Diikuti keberadaanku yang berada tepat di sampingnya, ia memelukku dengan sangat eratnya.Wajahnya terlihat sangat kelelahan. Itu mungkin karena sehabis bekerja ibu terus menungguku pulang. Ditambah lagi ibu ikut menghias pohon bambu di halaman.

    “Aku sungguh bodoh!” gumamku.

    Kemudian secara diam-diam, aku melepaskan pelukan ibu. Lalu beranjak mengambil sebuah kertas di dalam lockerku. Aku mulai menulis permintaan sebelum hari tanabata berakhir.

    Walaupun itu bukan kertas berwarna-warni, tetapi aku sangat senang, serta bersyukur akan semua itu.Secara berhati-hati aku mulai menuliskan permintaanku. Lalu dengan diam-diam aku berjalan menuju halaman dan menggantungkannya dipohon. 

    “Terima kasih, Gadis Tanabata!” ucapku sambil tersenyum.

    Semenjak kejadian itu aku menjadi pria yang tenang dan santai dalam menghadapi sesuatu.

    Begitulah kisah manisku dengan gadis tanabata. Tapi ada yang aneh dalam ingatanku. Hanya sedikit gambaran wajah yang bisa kuingat dalam pristiwa itu. Bisa digambarkan seperti samar-samar.Walaupun begitu, aku sangat bahagia pada saat itu.

    Sejak saat itu aku selalu datang ketempat kejadian itu dan selalu setia menunggunya di sana. Berharap gadis itu menemuiku kembali. Namun gadis itu tak pernah kunjung datang.

    "Mungkin suatu saat."  pikirku. 

    Yang terpenting adalah maknanya, bukan apa pun.

    Dan kita kembali lagi kekehidupanku yang sekarang.. Lima tahun setelahnya..

    Aku merasa sangat kelelahan menghadapi semua kejadian yang telah terjadi pada hari ini. Parahnya kepalaku masih sangat pusing. Tentu saja setelah mendapatkan benturan kuat seperti itu di jalan pasti setiap orang merasakan hal yang sama 

    “Aku pulang Okaa-san!” ucapku memberikan salam kepada ibuku.

    “Darimana saja kamu! kamu tahu ini sudah jam berapa!” bentaknya.

    Aku hanya tersenyum, tertawa kecil menanggapi ibu. Setiap menatapnya aku selalu teringat akan kejadian yang terjadi pada lima tahun lalu. Pada saat ia memelukku dengan pelukan hangatnya. 

    Pada saat itu aku sangat senang sekali menerima pelukan hangatnya. Lalu untuk pertama kalinya dalam hidup yang kujalani, aku menangis di hadapannya. 

    “Bagaimana keadaan Charon, Okaa-san?” tanyaku kepadanya di tengah omelannya.

    “Hmm, sepertinya ada sedikit perubahan.. demamnya sudah mulai menurun,” jawabnya.

    “Mengapa kamu tidak melihatnya saja lansung?” kata ibu menggoda.

    “Okaa-san..” ucapku dengan wajah yang memerah.

    Tanpa ragu-ragu, aku segera beranjak menuju tempat Charon berada. Membuka pintu pelan-pelan, seolah takut akan membangunkannya.Aku mendekatinya perlahan-lahan, menjaga bunyi kakiku seperti agen FBI yang sedang menjalankan aksinya.Perlahan, aku mulai memperhatikan wajahnya..

    “Ternyata dia lebih terlihat manis jika dia sedang tidur..”  pikirku.

    “Bodoh..  apa yang sedang aku pikirkan..”  debatku di dalam hati.  

    Aku sangat senang melihat Charon tertidur dengan sangat pulas. Sekejap perasaan bahagia menghiasi hatiku. Namun, pada saat itu muncul segudang pertanyaan di dalam pikiranku..

    “Ada apa ini? mengapa rasa rindu dan hangat selalu muncul bila bertemu dengannya?”  pikirku.

    Aku mulai beranjak tidur di sampingnya, menunggunya sejenak dan menjaganya. Karena waktu belumlah sangat malam. Yah seperti inilah yang kulakukan semenjak kemarin, walaupun terkadang semua itu membuatku lelah. Sesekali di dalam lelapku di luar pintu, aku memastikan keadaannya melihat keadaannya di tengah larutnya malam.

    Perlahan aku mulai memikirkan langkah yang akan kuambil untuk menyelamatkan adik Yuka. Kemudian aku berdoa, berharap Charon bisa segera sembuh dari demamnya. 
    Berharap Charon sehat seperti biasanya.
    Supaya charon bisa kembali mengganggu aktifitasku dengan keberadaannya yang tiba-tiba.

    ***


    TANGGAL 7 JULI.

    AKU BERHARAP DAPAT BERTEMU KEMBALI DENGAN WANITA ITU. LALU BILA PADA SAAT ITU AKU BERTEMU KEMBALI DENGANNYA, AKU BERJANJI TAKKAN MENANGIS LAGI DI DEPAN BOLA MATANYA YANG INDAH. 

    AKU AKAN MENJADI PRIA KUAT DAN TANGGUH, YANG AKAN MENEMANINYA MENGARUNGI PENDERITAAN YANG SEDANG DITANGGUNGNYA. KEMUDIAN AKU AKAN MENJALANI KEHIDUPAN BERSAMANYA SEPANJANG WAKTU.


    Setelah itu aku menggantungnya di pohon bambu, lalu mulai beranjak kembali ke dalam. Kembali ke dalam pelukan ibu yang hangat dan tidur di sampingnya. 

    Malam tanabata memang menyenangkan. 

    Itulah Benih Cintaku.




    Dark Eyes - The Beginning of Evil
    Chapter 10 - END
    To be continued Chapter 11 - Rechi?!
    • Blogger Comments
    • Facebook Comments

    0 comment:

    Post a Comment

    Item Reviewed: [Light Novel Indonesia]Dark Eyes - The Beginning of Evil ( Chapter 10 - Benih Cinta ) Rating: 5 Reviewed By: Razelion
    Scroll to Top